Mesasulbar.com – Mamuju, Gelombang kritik terhadap perusahaan perkebunan sawit kembali mencuat di Sulawesi Barat. Seluruh perusahaan sawit yang beroperasi di provinsi ini diduga kuat telah mengabaikan kewajiban konstitusional untuk membangun kebun masyarakat (plasma) seluas minimal 20 persen dari total konsesi yang mereka kuasai.
Kewajiban pembangunan kebun plasma merupakan amanat Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan, yang ditegaskan kembali dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja serta Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2021.
Peraturan ini mewajibkan perusahaan perkebunan untuk memfasilitasi pembangunan kebun masyarakat sekitar paling lambat tiga tahun setelah Hak Guna Usaha (HGU) diterbitkan.
Namun, menurut temuan lapangan yang dihimpun oleh Asosiasi Petani Sawit di Sulbar (APSS) dan tim kuasa hukumnya, sebagian besar perusahaan sawit di Sulbar tidak memenuhi kewajiban tersebut.
Bahkan, banyak di antaranya diduga sengaja menyamarkan bentuk kemitraan melalui pola-pola manipulatif yang tidak memberikan manfaat riil bagi masyarakat.
Hasri Jack, pengacara yang getol dibidang agraria dan juru bicara tim advokasi Asosiasi Petani Sawit, menegaskan bahwa pihaknya akan membawa persoalan ini ke level nasional.
Mengapa harus ke level nasional, karena kami anggap pemerintah daerah, baik kabupaten dan provinsi tak punya “nyali” untuk itu.
“Kami telah mengantongi sejumlah bukti kuat mengenai dugaan pelanggaran kewajiban plasma oleh perusahaan-perusahaan besar, termasuk grup korporasi besar yang sudah puluhan tahun mengeruk keuntungan dari tanah rakyat di Sulbar. Kami akan bawa masalah ini ke Komisi IV DPR RI, Menteri Pertanian, dan Menteri ATR/BPN. Negara harus hadir melindungi petani dan masyarakat adat,” tegas Hasri Jack dalam pernyataan resminya, Sabtu (10 Mei 2025).
Menurut Hasri, pelanggaran terhadap kewajiban plasma tidak hanya mencerminkan sikap abai terhadap hukum, tetapi juga menjadi akar ketimpangan struktural dan konflik agraria yang terus memburuk di tingkat akar rumput.
“Ini bukan semata-mata soal administrasi. Ini soal keadilan sosial. Rakyat yang hidup di sekitar kebun tidak punya akses atas tanah, sementara perusahaan menguasai ribuan hektare tanpa membagi hasil. Itu bentuk kolonialisme gaya baru,” tambahnya.
Dalam waktu dekat, pihak kelompok tani diberbagai kabupaten di sulbar bersama kuasa hukum akan mengajukan laporan resmi ke Komisi IV DPR RI dan kementerian terkait, dengan tuntutan sebagai berikut:
1. Audit menyeluruh terhadap seluruh perusahaan sawit di Sulawesi Barat, termasuk evaluasi realisasi kebun plasma berdasarkan izin HGU.
2. Sanksi tegas, termasuk pencabutan HGU bagi perusahaan yang terbukti tidak melaksanakan kewajiban plasma.
3. Transparansi data perizinan, termasuk pemetaan areal HGU dan pelaporan progres kemitraan plasma kepada publik.
4. Pemulihan hak masyarakat, termasuk redistribusi lahan dan restitusi ekonomi bagi masyarakat yang dirugikan.
Sebagai informasi, pemerintah pusat telah menyatakan akan menaikkan kewajiban plasma menjadi 30 persen dari total lahan HGU untuk perpanjangan izin tahap ketiga. Namun menurut Hasri, kebijakan itu tidak akan berarti jika pelanggaran 20 persen pun tidak pernah ditindak tegas.
“Kalau yang 20 persen saja tidak dijalankan, bagaimana kita bicara soal 30 persen? Negara harus lebih berani terhadap oligarki kebun,” tutupnya. (*)